Baik dalam pembicaraan sehari-hari,maupun dalam ilmu serta filsafat sekalipun, kerapkali kita mempergunakan istilah manusia, yang dimaksud disinibialah istilah manusia pada umumnya, bukan aku, bukan engkau, bukan manusia tertentu, melainkan manusia abstrak yang tak terdapat pada realitas.
Manusia abstrak ini adalah hasil perenungan manusia yang sebenarnya ada, tertentu apa-apanya, terlibat dalam waktu dan ruang, yang kita sebut manusia kongkrit.
Manusia kongkrit ini pada suatu saat akan sadar akan dirinya. Ini berarti bahwa pada saat itu manusia tertentu tersebut tahu bahwa dirinya itu dirinya sendiri, lain dari manusia lain, lain dari diri ibu atau bapaknya, lain dari diri kakak atau adiknya. Dengan cara lebih kongkrit dapat kami lanjutkan:
maka aku tahulah, bahwa aku ini lain dari yang lain, aku ini aku-lah. Dalam pada itu lalu aku dapat meng-aku-i aku-ku dan yang bukan aku, entah merupakan manusia yang aku ajak berbicara sehingga aku sebut “engkau” entah yang aku bicarakan dengan “engkau” itu dan lalu aku aku sebut “dia”, entah berupa hal-hal yang bukan manusia sehingga dalam bahasa-ku hanya aku tunjuk degan nama jenisnya, degan keterangan-keterangan pengkongkritan, tetapi selalulah hal-hal manusia dan bukan manusia terhubungkan dengan aku.
Bilamana aku menemukan aku-ku itu tidaklah ingat aku, yang terang ialah , bahwa aku selama tidak tidur terlalu nyenyak, tidak sakit terlalu parah, tidak bingung terlalu gelap, selalu tahu bahwa aku ini adalah aku. Aku ini merupkan keseluruhan yang utuh. Yang sedih itu aku, yang senang itu aku, yang makan itu aku, yang mengerti dan tidak mengerti itu aku, yang mau dan tidak mau itu aku, aku sendiri, bukan yang lain.
Aku memang satu, lain dari yang lain. Aku-ku yang bertindak itu bukanlah merupakan perpecahan, sebab bukan kaki yang berjalan, bukan tangan yang melambai, bukan mulut yang makan, bukan lidah yang berbicara, bukan mata yang melihat, melaikan akulah yang BERTINDAK. Dan tindakan itu bukanlah merupakan deretan fakta atau kejadian berturut atau bertumpuk terisikan pada AKU.
Aku memang satu, lain dari yang lain. Aku-ku yang bertindak itu bukanlah merupakan perpecahan, sebab bukan kaki yang berjalan, bukan tangan yang melambai, bukan mulut yang makan, bukan lidah yang berbicara, bukan mata yang melihat, melaikan akulah yang BERTINDAK. Dan tindakan itu bukanlah merupakan deretan fakta atau kejadian berturut atau bertumpuk terisikan pada AKU.
Aku mungkin pada saat yang sama makan dan Melihat, merasa dan menangis, tahu dan gembira, kecewa dan sedih. Aku ini penindak semua tindakanKU, aku ini merupakan pusat dari semua tindakanku bersama-sama, semua atau satu persatu. Aku ini merupakan subyek tindakan-ku. Oleh karena aku merupakan subyek tindakanKU, maka segeralah aku dapat meng-aku-i apa saja yang sungguh-sungguh berhubungan dengan aku.
Aku tidak ingat kapan aku itu menemukan diri atau aku-ku itu, masih dapat aku tanyakan, bagaimanakah aku mengenal atau menemukan aku-ku tersebut ? , jawabannya juga tidak mudah, sebab penemuan itu terjadinya tidak secara tiba-tiba, tidakllah seperti menemukan bola yang hilang, atau menemuka harta terpendam, melaikan seperti menemukan sahabat yang tidak di ketahui kapan mulai saat aku bersahabat. Tetapi kalau tinjauan tidak diarahkan kepada aku sendiri, melainkan kita menengok kekanan dan kekiri , maka agak terang, bahwa penemuan ini tidak timbul dari renungan; waktu ada penemuan tersebut, belumlah kita dapat merenung dalam arti menjalankan fikiran, kita masih terlalu kecil.
Aku tidak ingat kapan aku itu menemukan diri atau aku-ku itu, masih dapat aku tanyakan, bagaimanakah aku mengenal atau menemukan aku-ku tersebut ? , jawabannya juga tidak mudah, sebab penemuan itu terjadinya tidak secara tiba-tiba, tidakllah seperti menemukan bola yang hilang, atau menemuka harta terpendam, melaikan seperti menemukan sahabat yang tidak di ketahui kapan mulai saat aku bersahabat. Tetapi kalau tinjauan tidak diarahkan kepada aku sendiri, melainkan kita menengok kekanan dan kekiri , maka agak terang, bahwa penemuan ini tidak timbul dari renungan; waktu ada penemuan tersebut, belumlah kita dapat merenung dalam arti menjalankan fikiran, kita masih terlalu kecil.
Karena ada hubungan dengan manusia lain yang menamai dirinya aku serta sendiri, maka aku ini menemukan aku-ku. Melalui aku-aku yang lain bertemulah aku dengan aku-ku. Seluruh aku-ku terhubungkan dan terarahkan kepada yang bukan aku, dengan kata ilmiah disebut alam atau dunia; adapun yang erat terhubungkan dengan aku ialah aku-aku yang lain tersebut. Dengan aku-aku yang lain inilah aku ini bergaul, dengan aku-aku lain inilah aku belajar, dengan aku-aku lain inilah aku bersama sama meng-aku-i beda dan meng-aku-i sama-nya dengan aku sendiri. Kawanku terutama ialah aku-aku lain itu sesama aku. Yang bukan manusiapun bersama sama dengan aku, akan tetapi “pergaulan-ku” dengan mereka lain dari manusia lain; dengan yang bukan-manusia, tidak ada aku-meng-aku-i, disini hanya ada pengakuan sepihak, yaitu dari aku sendiri. Namun demikian hubungan antara aku dengan dunia-bukan-manusia tersebut real. Malahan harus di akui dunia itu baru berarti (bagi-ku) setelah ada AKU, aku masing masing dan aku yang lain , ialah manusia.
Dapat juga kita, manusia memikirkan dunia dan alam semesta itu tanpa manusia, tetapi itu sebenarnya hanya pengandaian saja, dalam ilmu merupakan abstraksi juga, sebab dalam realitas selalulah alam semesta terhubungkan dengan manusia, sebab yang menyelidiki alam tersebut manusia, serta manusia pula yang hendak menyelami alam tersebut, justru karena di alaminya, bahwa alam tersebut realitas juga. Tentu saja memang benar, bahwa menurut ilmu, alam semesta pernah tanpa manusia, jadi merupakan realitas juga; pernah ada alam tanpa manusia, hingga memang benar, hal itu dapat di selidiki ! Akan tetapi penyelidikan itu tentu dari dan oleh manusia serta untuk manusia juga. Menyelidiki ruang angkasa, menyelidiki dari mana datangnya alam, bagaimana perkembangannya dan kemana tujuannya itu semua di lakukan oleh manusian dan untuk manusia, untuk memuaskan rasa ingin tahunya, tetapi tidak hanya itu saja, demi penyelidikannya manusia makin tahu akan keadaan dan sifat sifat alam, maka dapatlah ia mempergunakan alam tersebut untuk kepentingannya. Benar adanya, manusia itu ada di dunia, akan tetapi tidaklah ia hanya menyerah serta dengan penyerahan itu ia mempergunakan dunia, melainkan manusia mencoba mangatasi dunia , ia mengolah dunia, ia bahkan hendak merajai dunia.
Usaha manusia bersama untuk mempergunakan dunia secara sifat sifat manusia, yaitu dengan di atur dan di salurkan kepada manusia itulah yang mengakibatkan gejala kompleks yang di sebut kebudayaan dan siviliasi.
Demi penemuan penemuan kekuatan pada alam sendiri oleh manusia dan demi penggunaan penemuan tersebut, maka perkembangan ini makin cepat jalannya. Pun kalau di katakan bahwa ilmu menyelidiki seluruh realitas dialam ini semata mata untuk tahu tanpa menghiraukan guna dan hasilnya, namun masih juga usaha dari manusia dalam perkembamgan tahunya itu ia mengadakan kesimpulan kesimpulan yang menyangkut dirinya sendiri. Boleh dinkatakan bahwa ia seakan akan keluar dari dirinya untuk menyelami dirinya sendiri.
Demi penemuan penemuan kekuatan pada alam sendiri oleh manusia dan demi penggunaan penemuan tersebut, maka perkembangan ini makin cepat jalannya. Pun kalau di katakan bahwa ilmu menyelidiki seluruh realitas dialam ini semata mata untuk tahu tanpa menghiraukan guna dan hasilnya, namun masih juga usaha dari manusia dalam perkembamgan tahunya itu ia mengadakan kesimpulan kesimpulan yang menyangkut dirinya sendiri. Boleh dinkatakan bahwa ia seakan akan keluar dari dirinya untuk menyelami dirinya sendiri.
Harus di akui bahwa manusia, aku masing masing itu ada di dunia, aku-aku tersebut ada di dunia, tidak pasif, tidak menyerah melainkan aku-aku tersebut mengolah dan menyelenggarakan dunia. Dalam penyelenggaraan tersebut ia boleh juga di katakan menyungguhkan dunia dan menyungguhkan dirinya. Kamin katakan “menyungguhkan”- membuat sungguh-sungguh tidak mengadakan, sebab adanya di dunia bukan karena manusia dan yang sebenarnya mengadakan tersebut bukan manusia. Manusia mengakui bahwa dunia itu sungguh ada, dan pada saat itu juga ia mengakui, bahwa aku-nya itu sungguh ada. Ada relasi antara aku dan dunia, ada korelasi antara aku dan dunia, relasi ini timbal balik. Antara manusia dan dunia ada dialog Antara manusian dan manusia ada dialog sebenarnya, sedangkan antara manusia dan dunia-bukan-manusia ada semacam dialog juga, karena manusia, demi penyelenggaraannya mengenai dunia yang memungkinkan ia lebih mengerti akan dunia-bukan-manusia tersebut, lebih mengerti juga akan dirinya sendiri. Dalam perkembangannya manusia memang tak mungkin melepaskan diri dari dunia, baik dunia manusia, maupun dunia bukan manusia.
KESIMPULAN
Dari renungan kita diatas apakah yang bisa kita simpulkan? . marilah kita menelaah sejenak apa yang tersimpul dalam penemuan AKU.
Dari renungan kita diatas apakah yang bisa kita simpulkan? . marilah kita menelaah sejenak apa yang tersimpul dalam penemuan AKU.
• Penemuan terhadap AKU, memberi pengertian kepada aku, bahwa peng-aku-an tersebut sesuatu yang mutlak. Bukan aku ini mutlak, melainkan peng-aku-anku mutlak, hingga aku tak mungkin mengelakkannya, sehingga jika aku mengingkarinya, hanya akan sia sia saja, sebab yang mengingkari itu aku juga !. Aku harus meng-aku-i aku-ku dan dalam pengakuan tersebut ku aku-i pula aku-aku yang lain. Secara psychologis mungkin urut urutan ini harus terbalik, akan tetapi dalam realitas pengakuan terhadap aku-aku lain ini sama dan bersamaan.
• Dalam peng-aku-an tersebut, ternyata aku merupakan keseluruhan yang lain daripada yang lain manapun juga, aku ini kesatuan atau lebih kongkrit aku ini satu. Boleh juga di sebut individu jika individu, jika individu diartikan satu, lain dari yang lain. Dalam hal ini maka ada kesamaan aku dengan hal-hal yang lain, walaupun bukan manusia, selama mereka itu merupakan satu, jadi merupakan keseluruhan dari yang lain.
• Aku ini menjadi dasar tindaka-ku. Walaupun tindakan tersebut berbeda beda baik waktu maupun macamnya, selalu yang menjadi alas/dasar ialah aku. Aku merupakan semacam prinsip tindakan, aku adalah subyek, yaitu subyek yang bertindak.
• Aku yang (bersama sama dengan aku-aku lain) ada di dunia ini mempunyai korelasi terhadap:
1) Aku aku lain, aku ini dalam masyarakat dan bermasyarakat.
2) Dunia bukan manusia
3) Aku ini lagi menyuguhkan dunia dan menyuguhkan diri; dalam penyuguhan diri maka aku sekaligus menyuguhkan dunia. Baik aku maupun dunia ternyata sungguh sungguh ada, merupakan realitas.
Semua itu aku sadari, karena aku sadar akan diri-ku, tidaklah semua itu aku sadari pada saat yang bersamaan, ada juga yang kemudian berkembang mengikuti perkembangan aku-ku, tetapi sudah tersimpulkan pada penemuan aku-ku. Dasar yang sedalam dalamnya untuk semua ini ialah karena aku itu mungkin tahu. Kalau sekiranya aku tidak mampunyai daya (kemungkinan) tahu tersebut tentulah aku takkan tahu apa apa.
• Dalam peng-aku-an tersebut, ternyata aku merupakan keseluruhan yang lain daripada yang lain manapun juga, aku ini kesatuan atau lebih kongkrit aku ini satu. Boleh juga di sebut individu jika individu, jika individu diartikan satu, lain dari yang lain. Dalam hal ini maka ada kesamaan aku dengan hal-hal yang lain, walaupun bukan manusia, selama mereka itu merupakan satu, jadi merupakan keseluruhan dari yang lain.
• Aku ini menjadi dasar tindaka-ku. Walaupun tindakan tersebut berbeda beda baik waktu maupun macamnya, selalu yang menjadi alas/dasar ialah aku. Aku merupakan semacam prinsip tindakan, aku adalah subyek, yaitu subyek yang bertindak.
• Aku yang (bersama sama dengan aku-aku lain) ada di dunia ini mempunyai korelasi terhadap:
1) Aku aku lain, aku ini dalam masyarakat dan bermasyarakat.
2) Dunia bukan manusia
3) Aku ini lagi menyuguhkan dunia dan menyuguhkan diri; dalam penyuguhan diri maka aku sekaligus menyuguhkan dunia. Baik aku maupun dunia ternyata sungguh sungguh ada, merupakan realitas.
Semua itu aku sadari, karena aku sadar akan diri-ku, tidaklah semua itu aku sadari pada saat yang bersamaan, ada juga yang kemudian berkembang mengikuti perkembangan aku-ku, tetapi sudah tersimpulkan pada penemuan aku-ku. Dasar yang sedalam dalamnya untuk semua ini ialah karena aku itu mungkin tahu. Kalau sekiranya aku tidak mampunyai daya (kemungkinan) tahu tersebut tentulah aku takkan tahu apa apa.
Di kutip dari buku karya : prof.i.r poedjawijatna