This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 19 Juli 2011

YAHUDI MENDIDIK ANAK

“We would like our students to be able to communicate in Hebrew, more importantly, we should try to allow them a life-long access to the stories and ideas of the Bible and the Rabbinic texts to the prayers.”
Kata-kata di atas berasal dari tulisan Rahel Halabe yang berjudul “Is Hebrew a ‘Second Language’
for our Children?”.
Rahel Halabe adalah seorang praktisi pendidikan Bahasa Ibrani yang terkenal di kalangan Yahudi dan menulis sebuah pengantar bahasa Ibrani yang berjudul “The Introduction to Biblical Hebrew the Practical Way“. Uniknya, mayoritas pendidikan Halabe justru Sastra dan Bahasa Arab di Hebrew University, Israel.

Dalam tulisannya, Halabe menjelaskan betapa pentingnya penguasaan bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi. Halabe berujar adalah tindakan fatal bagi bangsa Yahudi jika memperlakukan bahasa Ibrani sebagai bahasa kedua. Alasan Halabe sangat beralasan, sebab bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi, tidak saja semata-mata menjadi tuntutan teologis tapi bahasa Ibrani adalah representasi kultur atau budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas seorang Yahudi.
Maka itu, menurutnya, cara awal agar seorang anak Yahudi dekat dengan bahasa Ibrani amat tergantung dari orangtuanya. Orangtua Yahudi, kata Halabe, sudah harus memperkenalkan bahasa Ibrani-dan bukan bahasa lainnya- tepat ketika bayinya lahir. Orangtua dituntut untuk memperkenalkan bahasa Ibrani dengan cara seperti menyanyikan bahasa Ibrani dan membiasakan berbicara kepadanya saat awal-awal seorang anak Yahudi hadir dalam kehidupan nyata. Halabe juga mendelegasikan tulisan Ibrani modern

kepada seorang anak. Hal ini tidak saja untuk memudahkan jalan mereka menguasai percakapan bahasa Ibrani dan literatur modern Ibrani, tetapi juga akan mendukung studi mereka tentang teks-teks teologi klasik Yahudi seperti Siddur dan Mishnah. “Introducing young students to modern Hebrew literature will not only ease their way into Hebrew conversation and modern Hebrew literature, but will support their study of the classical texts: Bible, Siddur, Mishnah and more. In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions.”

Akhirnya ketika semua proses itu telah usai, pada gilirannya, Yahudi pun akan memetik hasilnya. Hasil itu adalah berupa generasi dewasa Yahudi yang terpelajar sekaligus menghargai warisan dan budaya mereka. Ya, bukan budaya yang lainnya. “In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions. A rich program offering both past and present will
help produce educated adult Jews who are well-read and appreciative of their heritage and culture.”
Hal ini seakan berbalik dengan dunia Islam. Kita memang banyak melahirkan sarjana-sarjana pintar,cerdas, dan trengginas tapi sayangnya mereka tidak bangga pada agamanya, pengetahuan agama mereka pun minim. Mereka pun tidak memiliki keterikatan terhadap warisan luhur agamanya. Walhasil, banyak kita saksikan seorang Profesor ber-KTP Islam, tapi baru mempelajari Islam, justru ketika dirinya pensiun. Ia memang pakar sosiologi, ekonomi, dan politik tapi tidak memliki akses terhadap wacana klasik Islam, ini terjadi karena mereka tidak menguasai bahasa Arab sebagai bahasa resmi agamnya.

Dampak ini cukup fatal, karena umat Islam kehilangan akses terhadap sejarah agamanya dan agama (Islam) itu sendiri. Padahal Muhammad Assad (Leopold Weiss/1900-1922), mantan Yahudi yang masuk Islam dan menulis “Islam at the Crossroad” pernah mengatakan bahwa ketika suatu bangsa tidak memiliki akses kepada sebuah peradaban yang membesarkannya, maka peradaban itu akan terputus. Peradaban itu akan mati dan tinggal sejarah. Dampaknya, generasi mendatang dari bangsa tersebut akan terputus kepada akar sejarahnya dan tidak akan memiliki lagi perasaan bangga kepada warisan peradabannya.
Maka itu, Muhammad Quthb dalam bukunya “Kaifa Naktubu Attarikhal Islami” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, “Mengapa Kita Perlu Menulis Ulang Sejarah Islam”. menyatakan sejarah adalah bagian penting bagi Umat Islam untuk mengetahui akar peradabannya.
br />Kini setelah mereka bersatu dalam Israel, Yahudi bisa dikatakan bangsa yang sangat memperhatikan warisan bahasanya. Di Israel kini Bahasa Ibrani menjadi kurikulum wajib di tiap sekolah. Mata pelajaran bahasa Ibrani menjadi mata pelajaran utama di tiap jenjang pendidikan. Jalan-jalan di Israel pun mayoritas ditulis dalam bahasa Ibrani.

Zionis Israel memberikan nama-nama dengan bahasa Ibrani untuk beberapa desa, kota dan wilayah setelah mereka berhasil 'menjajah' wilayah Palestina pasca perang tahun 1948. Bahkan baru-baru ini, dalam upaya menampilkankarakter Yahudi di negara Zionis Israel tersebut,

pemerintahan sayap kanan Israel akan menghapus semua papan-papan tanda publik yang berbahasa Arab dan Inggris dari seluruh Israel. Yisrael Katz, Menteri Transportasi Israel, sekaligus anggota Knesset mengatakan tindakan tersebut dilakukan sebagai jawaban terhadap penolakan warga Palestina untuk menggunakan nama-nama Ibrani untuk beberapa kota yang ada di Israel.

Tentu kita masih ingat pada seorang orientalis Yahudi bernama Abraham Geiger yang pernah menulis buku kontroversial yang berjudul, Was hat Mohammed aus dem Judenthue aufgenommen? (Apa yang diambil Muhammad dari Yahudi). Buku ini mengantarkan penulisnya lolos seleksi ke Universitas Bonn dan kelak menjadi Doktor teologi terhebat abad 19. Dan anda mau tahu berapa umur Geiger saat menulis buku yang menjelaskan banyak hal yang “dicuri”
Islam dari Yahudi itu? 23 tahun.

Sekalipun menjadi liberal, berkat penguasaannya pada bahasa Ibrani, Geiger kecil sudah akrab dengan literatur Ibrani teks-teks teologi Yahudi. Penguasaan bahasa itu pula yang membuatnya di umur 17 tahun pun konsisten mengkaji bahasa dan sastra Arab. Selama berjam-jam, Geiger tekun mengkaji Al Qur’an di dalam Universitas tua di Universitas Bonn.

Inilah yang harus menjadi instropkesi bagi dunia Islam. Sudahkah kita mendahulukan bahasa “ibu”kita sebagai umat Islam, yakni bahasa Arab ketimbang bahasa lain? Berapakah uang yang kita gelontorkan untuk memperdalam bahasa Al Qur’an itu ketimbang bahasa Inggris? Kenapa kita hanya melantunkan adzan kepada anak saat baru lahir namun terputus untuk mengajarkannya bahasa Arab sebagai hak seorang anak hingga dewasa.

Maka itu jangan salahkan anak kita jika mereka tidak bangga kepada Islam. Atau betul memang kata Umar bin Khaththab, bahwa sebelum anak durhaka kepada orangtuanya ,orangtuanya dahulu yang telah durhaka kepada anaknya. "Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu,” kata Umar kepada orangtua yang mengadukan kedurhakaan anaknya, dan usut punya usut, sang orangtua dululah yang memulai. Allahua'lam.
“Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Qur’an
dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkan.” (Surat Yusuf: 2).
(Eramuslim.com)

Sabtu, 02 Juli 2011

BEGINILAH CARA YAHUDI MENDIDIK ANAK

Yahudi sebagai sebuah bangsa digdaya di akhir zaman seperti ini, memiliki sebuah kunci “keberhasilan” dalam menjalankan misinya.Rumus mereka terletak dalam hal pendidikan.

Yahudi sadar betul bahwa penanaman nilai-niai Yahudi adalah kunci dalam mengokohkan indentitas diri mereka. Ya sebuah bangsa kecil yang menjadi besar dan memiliki arti penting dalam menguasai dunia saat ini.

Di tengah sekularisasi dunia yang diciptakan mereka Yahudi justru tampil dalam semangat militanisme yang terinternalisasi baik dalam kehidupan mereka.
Bagi Yahudi, sekularisasi hanya berlaku bagi dunia Islam, namun bagi mereka tidak. Bahwa Al Qur’an hanya menjadi kitab suci berdebu bagi orang Islam, memang iya. Akan tapi sebaliknya bagi mereka, taurat adalah segala-galanya rujukan dalam menjalankan ritme kehidupan.

Eksplorasi ini bukan dalam tujuan untuk melemahkan semangat kita sebagai umat muslim, -kita adalah umat mulia yang diberikan Allah kenikmatan berupa dienul Islam dalam jiwa kita,- tapi ini adalah ajang muhassabah, intropeksi, dan juga antisipasi bahwa pada akhirnya kita akan berbenturan dengan mereka, ya dalam arti yang sebenarnya: Al Masihuddajal di pihak kaum kufar dan Al Mahdi dibarisan kaum muslimin.

Menurut Rabbi Lev Baesh, Direktur pada The Resource Center for Jewish Clergy of InterfaithFamily.com, Taurat adalah lebih dari sebuah kitab suci. Ia menjadi pengacu dalam seluruh pembelajaran moral dan etika bagi orang tua dalam mendidikan anak seorang anak Yahudi.

Dalam tulisannya, Teaching Jewish Values To Your Children, pakar Parenting Yahudi itu menulis, Pengajaran Taurat adalah tentang bagaimana mengajari seorang individu Yahudi berperilaku yang benar. Dimulai dari bagaimana mereka mampu mengurus diri sendiri, peduli terhadap sesama Yahudi, memiliki kepedulian tentang arti perjuangan, dan pembinaan terhadap generasi mendatang.

Rabbi yang aktif dalam kampanye pendidikan keluarga ini mengaku bahwa pendidikan seoran anak Yahudi tidak akan bisa dijalankan dengan misi sekularisme, dimana keluarga Yahudi terlepas dari millah mereka. Dimana terputusnya ajaran agama Yahudi dalam tiap keluarga Yahudi.

Seorang keluarga Yahudi harus mendekatkan diri kepada ajaran agamanya. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa keberhasilan pendidikan Yahudi tidak akan terlepas pada tiga hal yang mutlak harus dimiliki seorang keluarga Yahudi yakni bagaimana pelajaran Taurat harus diberikan kepada seorang anak.

bagaimana menciptakan sebuah masyarakat Yahudi di sekitar keluarga, dan kesinambungan dalam menjalankan ibadah agama. Dengan terlibat pada tiga hal ini, maka seseorang Yahudi memiliki fondasi kuat untuk mengajarkan nilai-nilai Yahudi bagi generasi berikutnya.

“Akhirnya, jika Anda ingin menjadi guru terbaik dari nilai-nilai Yahudi, pertama menjadi murid terbaik Anda sendiri” pungkasnya Rupanya, konsep yang ditawarkan rabbi terebut benar-benar terjalan baik di Israel. Jika di negeri ini anak-anak sudah sangat dekat dengan rokok, bahkan kita tidak asing mendengar berita seorang anak kecil yang sudah merokok dari umur dua tahun,
di Israel merokok adalah sebuah hal tabu, jika tidak mau dikatakan haram. Ya bangsa picik itu memang jahat.

Ditengah Yahudi menjadi aktor produsen asap mematikan itu, namun di saat itu pula mereka mengukutuk penggunaan (bahkan pelarangannya) di negeri mereka sendiri. Perlu dicatat, Philip Morris, pabrik rokok terbesar di Amerika menyumbangkan 12% dari keuntungan bersihnya ke Israel. Saat ini jumlah perokok di seluruh dunia mencapai
angka 1,15 milyar orang, jika 400 juta diantaranya
adalah perokok Muslim, berarti umat muslim
menyumbang 35% dari jumlah perokok dunia. Laba
yang diraih oleh produsen rokok bermerek Marlboro,
Merit, Benson, L&M itu setiap bungkusnya pun mencapai 10%.

DR. Stephen Carr Leon yang pernah meneliti tentang
pengembangan kualitas hidup orang Israel atau
orang Yahudi. Mereka memiliki hasil penelitian dari
ahli peneliti tentang Genetika dan DNA yang
meyakinkan bahwa nikotin akan merusak sel utama
yang ada di otak manusia yang dampaknya tidak hanya kepada si perokok akan tetapi juga akan
mempengaruhi "gen" atau keturunannya. Pengaruh yang utama adalah dapat membuat orang
dan keturunannya menjadi "bodoh"atau "dungu". Jadi sekali lagi, jika penghasil rokok terbesar di dunia inI adalah orang Yahudi ! Tetapi yang merokok, bukan orang Yahudi.

Ironis sekali. Siapakah yang kemudian menjadi konsumen asap-asap rokok buatan Negara Zionis itu? Anda, orangtua anda, atau anak kita?
Hanya kita yang bisa menjawab. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, kita sebagai
umat Islam justru meninggalkan pilar asasi kita
kepada seorang anak, yakni pendidikan Tauhid dan
Al Qur'an sejak usia dini. Kita umat Islam kadang
lebih sibuk pada asesoris parenting, seperti konsep
"jangan katakan tidak" dan lain sebagainya. Pernah kami mendengar kenapa pendidikan Al Qur'an
seperti menghafal diabaikan pada usia dini oleh
psikolog muslim, dikarenakan mengganggu kognisi
seorang anak.

“There is no investment in Israel more vital than an
investment in the children.” (Israel Children Centre) Fenomena barbarisme dalam bangsa Yahudi tidak
terlepas dari pendidikan Zionisme yang telah mereka
tanamkan kepada anak sejak kecil. Yury Ivanof
dalam bukunya yang berjudul "Hati-Hati Zionisme"
menulis bahwa ajaran kekejaman, kekerasan dan
kebiadaban dalam Talmud sudah diajarkan ke anak- anak sejak balita. Para orangtua pun tidak segan-segan menanamkan
prinsip mendasar pada anak-anak seperti tindak
penindasan, pembunuhan dan terorisme adalah sah
dan sangat dianjurkan dalam agama Yahudi. Selain
orang Yahudi berhak untuk dibunuh, ini adalah
perintah suci untuk bangsa Yahudi. “Hanya orang-orang Yahudi yang manusia,
sedangkan orang-orang non Yahudi bukanlah
manusia, melainkan binatang.” (Kerithuth 6b hal.78,
Jebhammoth 61a) “Orang-orang non-Yahudi harus dijauhi, bahkan
lebih daripada babi yang sakit.” (Orach Chaiim 57,
6a) Namun dibalik itu semua, kunci penanaman nilai
Zionisme kepada seorang anak adalah sebuah
doktrin wajib bagi orang tua. Dalam Talmud,
pengabaian pendidikan agama (baca: Zionisme) oleh
orangtua adalah sebuah tindakan yang tercela. “Menyangkal pengetahuan agama (sama dengan)
merampas anak anak dari warisan.” (Talmud
Sanhedrin 91b) Maka itu betul kata C. Robb, “When you into the eyes
your children, you can see the future of Israel”.
Yahudi sadar betul bahwa pendidikan anak adalah
keniscyaan bagi perlawanan selanjutnya kepada
bangsa non Yahudi dan sebuah ideologi yang akan
menghasilkan bibit-bibit baru. Berdasarkan penelitian Dr. Wail al-Qodhi, bahwa
materi pelajaran Sejarah, Geografi dan Bahasa Ibrani
selalu menggunakan pendekatan ajaran Talmud,
yaitu terorisme dan kekerasan. Anak-anak Yahudi
pun sejak kecil sudah diajarkan, bahwa seorang
Yahudi apabila menikah dengan Non Yahudi hukumnya tidak sah. Karena dalam ajaran Talmud
wanita Non Yahudi dianggap sebagai binatang
piaraan. Dalam bahasa Talmud, maka wanita non Yahudi akan
disebut dengan istilah Shiksa. Shiksa sendiri adalah
kata turunan dari kata Ibrani "shegitz" yang mengacu
pada bangkai babi. Oleh sebab itu, tak heran jika
seorang anak kecil Yahudi di Israel pernah
tertangkap kamera sedang menendang seorang ibu muslimah sebagai bentuk indoktrinasi Talmud dalam
otaknya. Bukti untuk memperkuat temuan itu adalah sebuah
survei yang diadakan Ary Syerabi, mantan perwira
dari Satuan Anti Teror Israel, terhadap 84 anak-anak
Israel usia sekolah dasar, saat dia bergabung dengan
London Institute for Economic Studies. Dari survey ini
tampaknya kita akan melihat betapa mereka memang sudah bersiap untuk bertempur melawan
kita (baca: umat muslim) Ketika itu Ary Syerabi ingin mengetahui perasaan
apa yang ada di dalam benak anak-anak Israel
terhadap anak-anak Palestina sebaya mereka yang
sesungguhnya. Kepada anak-anak Israel itu, Ary
memberikan sehelai kertas dan pensil, lalu kepada
mereka Ary berkata, “Tulislah surat buat anak-anak Palestina, surat itu akan kami sampaikan pada
mereka.” Hasilnya sangat mengagetkan. Anak-anak Israel
yang menyangka suratnya benar-benar dikirim
kepada anak-anak Palestina menulis surat mereka
dengan sebenar-benarnya, keluar dari hati terdalam.
Salah satu surat ditulis oleh seorang anak perempuan
Israel berusia 8 tahun. Ia mengaku menulis surat kepada anak perempuan Palestina seusianya. Isi
suratnya antara lain: “Sharon (PM. Israel, red.) akan membunuh kalian
dan semua penduduk kampung dan membakar jari-
jari kalian dengan api. Keluarlah dari dekat rumah
kami, wahai monyet betina. Kenapa kalian tidak
kembali ke (tempat) dari mana kalian datang?
Kenapa kalian mau mencuri tanah dan rumah kami? Saya mempersembahkan untukmu gambar (ini)
supaya kamu tahu apa yang akan dilakukan Sharon
pada kalian…ha…ha…”. Dan gambar yang dimaksud anak Israel itu adalah
sebuah sosok Ariel Sharon dengan kedua tangannya
menenteng kepala anak perempuan Palestina yang
meneteskan darah. Menurut Dr. Wail Al Qadhi setidaknya ada 5 tujuan
terselubung dalam pendidikan yang di ajarkan
Yahudi terhadap anak-anak, yaitu: 1. Tercapainya keyakinan mutlak pada anak-anak
bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan dan
mempunyai hak penuh atas tanah Israel. 2. Mewujudkan generasi yang benci terhadap bangsa
Arab dan Islam dengan cara brutal, sadis dan teroris
serta memperluas wilayah Israel dengan cara
merampas dan merampok. 3. Memperjelas dan memberikan pemahaman pada
anak-anak, orang Yahudi akan menjadi musuh
bersama non Yahudi, dan tidak akan ada yang
menolong Bangsa Yahudi kecuali orang Yahudi itu
sendiri. 4. Mewujudkan generasi yang saling menolong dan
melingdungi hanya untuk sesama Yahudi dan untuk
non Yahudi berlaku sebaliknya. 5. Terbentuknya generasi yang bangga sebagai
bangsa Yahudi, kaum termulia dari umat lainnya
(sya'bu mukhtar), bangsa yang mendapat
kehormatan mendapat "tanah yang dijanjikan" (al-
ardhu al-mau'udah), dan sebagai bangsa pilihan yang
mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Media Barat sering menggembar-gemborkan
bagaimana kurikulum sekolah di Palestina kerap
mengajarkan kebencian mereka kepada Israel,
tanpa mereka melakukan kritik serupa kepada
orangtua Israel yang mendoktrinasi anak-anaknya
yang menyatakan bahwa anak-anak Palestina lebih buruk dari najis. Mereka juga mensinyalir ajaran Jihad sebagai pemicu
rusaknya perdamaian antara Israel dan Palestina,
tanpa menunjuk hidung mereka sendiri dimana tidak
ada ajaran yang lebih biadab dari Zionisme yang
menyatakan selain golongannya lebih daripada babi
yang sakit. Inilah yang dilakukan oleh Arlene Khusner, seorang
Jurnalis Israel, yang pernah menulis “Texts of
Hate” pada tahun 2008 yang menyerang ajaran
kekerasan dalam Al Qur’an sebagai “pihak
tertuduh” dibalik kebencian anak Palestina kepada
rezim Zionis. Atau juga tulisan "Hamas Steals Mickey Mouse Image to Teach Hate and Islamic Supremacy,"
pada tahun 2007 yang ditulis oleh dua agen Israel
Itamar Marcus and Barbara Crook yang mengkritik
tayangan Televisi Hamas (Aqsa TV). Hamas memakai serial anak Mickey Mouse untuk
mendoktrin Jihad para anak Palestina dan
meyakinkan Islam akan menguasai dunia. “Rafah
Sings oh..os its answer is AK 47,” ya bunyi yang
dilantunkan Mickey Mouse ala Hamas di Aqsa TV itu Kini yang mengkhawatirkan adalah penyebaran
doktrinasi Talmud kepada anak-anak tidak saja
terjadi di Israel, tapi juga meluas ke dataran Asia,
seperti Korea Selatan. Kantor Berita YNET,
melaporkan bahwa hampir setiap rumah di Korea
Selatan sekarang berisi Talmud terjemahan Korea. ibu-ibu di Korea sudah mulai mengajarkan Talmud
kepada anak-anak mereka. Dalam sebuah negara hampir 49 juta orang yang
percaya pada ajaran Buddha dan Kristen, ada lebih
banyak orang yang membaca Talmud - atau
setidaknya memiliki salinan mereka sendiri di rumah
- lebih dari di negara Yahudi. Bahkan lebih. Inikah
memang tanda-tanda akhir zaman dimana nantinya dunia akan terbelah menjadi dua: antara kaum kafir dan umat muslim? Wallahua’lam. (pz/bersambung)

Rabu, 01 Juni 2011

KEKHAWATIRAN MEDIA MASSA BARAT

Sebuah media massa barat yang menyatakan: "Tidak diragukan lagi bahwa tugas misi dalam merusak dan mengaburkan aqidah Islam telah menemui kegagalannya.

Tetapi tujuan ini bisa dicapai melalui Perguruan- perguruan Tinggi di Barat (juga semua perguruan dan sekolah atau yang semacamnya maupun segala lembaga yang dapat dikuasai atau dipengaruhi oleh Yahudi/Israel di dunia ini). Untuk itu hendaknya dipilih mahasiswa-mahasiswa (orang-orang; ) yang mempunyai watak yang lemah dan tidak mempunyai kepribadian serta moral yang rusak dari negara-negara Timur, khususnya dari dunia Islam, agar mereka diberi beasiswa (akses-akses, bantuan- bantuan, kemudahan-kemudahan, sarana dan prasarana, dll), sehingga mereka itu bisa menyandang gelar/ mendapatkan posisi yang menguntungkan/strategis atau mempunyai pengaruh yang luas dan kuat di masyarakat, agar mereka bisa membawa misi yang tidak diketahui (oleh orang-orang tersebut) Agar mereka membina dan mewarnai tingkah laku sosial dan politik di negara-negara Islam (dengan tingkah laku yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam. tetapi dinyatakan oleh orang-orang tersebut sebagai ajaran Islam).

Kami (Yahudi/ Israel;) berkeyakinan bahwa Perguruan-perguruan Tinggi barat (juga semua perguruan dan sekolah atau yang semacamnya maupun sebagai lembaga yang dapat dikuasai atau dipengaruhi oleh mereka di dunia ini; ) harus menggunakan kesempatan yang sebaik-baiknya terhadap dunia Timur (Islam; ) yang tergila-gila dengan gelar-gelar ilmiah (maupun gelar-gelar lainnya yang dapat menyatakan bahwa orang- orang itu lebih dari orang-orang kebanyakan yang kemudian orang- orang itu dapat pergunakan untuk memperoleh kenikmatan duniawi semata-mata yang berlimpah-limpah dengan mengabaikan ajaran-ajaran Islam;). Menggunakan mereka sebagai dosen dan intelektual serta sebagai pengambil keputusan, tokoh masyarakat, dll yang membawa misi Yahudi/Israel dalam rangka menghancurkan Islam adalah sangat menguntungkan terhadap tujuan kita (Yahudi/ Israel; ) dengan dalih memajukan (membantu, bersahabat, dll.)

Islam dan orang-orang Islam semua orang-orang Islam, tokoh-tokoh Islam, ilmuwan- ilmuwan Islam, pedagang-pedagang Islam, bankir-bankir Islam, anak-anak Islam, suami-suami Islam, isteri-isteri Islam, dll. yang murni, yang sejati, yang dengan sungguh-sungguh berjuang menegakkan kebenaran Allaah S. W. T.. di segala bidang kehidupan ini, yang pasti bertentangan kepentingan dengan Yahudi/ Israel, dibantai habis-habisan dengan mempergunakan segala cara yang mungkin dilakukan oleh mereka, termasuk mempergunakan tangan- tangan orang-orang Islam sendiri yang lemah imannya atau anak-anak kecil atau perempuan-perempuan atau orang-orang lemah atau semua orang yang dapat terhasut untuk membela kepentingan Yahudi/Israel.

Kamis, 26 Mei 2011

SEBUAH PROPAGANDA

Kepala pastor dalam konperensi pastor, Samuel Zwemer berkata: "Sebenarnya kami mengutus dan membebankan anda sekalian ke negara-negara Muhammadiyah (Islam) , bukan dengan tujuan untuk mengkristenkan mereka, karena hal itu adalah suatu kehormatan.Mereka tidak pantas untuk menerimanya.

Sebenarnya tugas kalian adalah mengeluarkan orang-orang Muslim dari agamanya, agar mereka menjadi mahluk yang putus hubungannya dengan Allah S.W.T. Dengan demikian terputus pula ciri (akhlaq) Islam dari dirinya, yang menjadi sendi dan fondasi dasar dalam kehidupannya.

Dengan jerih payah kalian itu, kalian telah menjadi pelopor kemenangan dalam penjajahan dalam negara- negara Islam. Kalian telah berhasil mencuci otak mereka sehingga mereka mau menerima dan menjalankan segala rencana dan siasat kita untuk mengeluarkan mereka dari Islam.

Kami menginginkan kalian berhasil membuat generasi penerus mereka menjadi generasi santai yang suka membuang waktu dan bermalas- malasan. Memburu hawa nafsu dengan berbagai cara, sehingga hawa nafsu itu merupakan tujuan utama kehidupannya, dan mempertuhankan hawa nafsunya, dan kalau mereka menduduki jabatan penting, juga untuk kepentingan hawa nafsunya. Mereka korbankan segala-galanya untuk kepentingan hawa nafsu.

Wahai para pastor! Laksanakan dan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya tugas yang telah diembankan kepada kalian, dan pasti kalian akan berhasil dengan gemilang." Demikianlah pernyataannya, yang diwujudkan dengan memupuk rasa kecewa, frustasi, pesimistis, dan putus asa terus dipompakan. Mabuk- mabukan, diskotik, film porno dan sex bebas dibudayakan, sehingga generasi Islam terlena dan terhanyut sampai jauh dari cita-cita semula yang luhur, hingga aqidah sebagai senjata ampuh yang terakhir ditanggalkan satu demi persatu
(di kutip dari beberap buku)

GELIAT FIDEL CASTRO

Kebanyakan anak-anak menjelang usia remaja, kerap menghabiskan hari-hari mereka dengan belajar, bermain dengan teman-teman, dan bersenang-senang bersama keluarga. Periode tersebut pada umumnya merupakan masa yang dipenuhi dengan kegembiraan, keceriaan dan suka cita. Namun tidak dengan Lizbet Martinez.
Di usianya yang ke-12, ia harus pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Bersama ayah, ibu, dan biola kesayangannya, Lizbet kecil berjuang mengarungi lautan dengan mengendarai rakit sederhana dari tempat tinggalnya di Kuba menuju tepian pantai Florida. Hanya 1 tujuan mereka melakukan perjalanan berbahaya tersebut, yakni demi meraih kebebasan dan kesempatan yang lebih baik. Setelah terombang-ambing di lautan selama 7 hari, pada 21 Agustus 1994, mereka akhirnya diselamatkan oleh penjaga pantai Amerika Serikat yang sedang melakukan patroli rutin.
Lizbet dan kedua orangtuanya belum bisa berbahasa Inggris ketika itu. Setelah diselamatkan, dengan menggunakan biolanya, gadis cilik tersebut segera memainkan lagu kebangsaan negeri Paman Sam, “The Star Spangled Banner”, sebagai tanda terima kasih kepada para penyelamatnya, yang ia pelajari dari sebuah buku yang diberikan oleh guru musiknya. Para penjaga pantai itupun langsung terharu dan meneteskan air mata.
Perjalanan hidup seorang Lizbet Martinez hanyalah sepenggal kisah dari cerita hidup jutaan imigran asal Kuba yang lari ke Amerika Serikat. Banyak dari mereka yang berhasil, namun tak sedikit pula yang mengakhiri hidup di tengah lautan. Dengan menggunakan berbagai sarana sederhana, seperi rakit yang terbuat dari kayu, mereka berjuang mempertaruhkan nyawa demi mendapat tempat tinggal yang baru. Mereka semua dipersatukan oleh keinginan untuk mendapatkan kebebasan, kemerdekaan dan kehidupan yang lebih baik.
Mayoritas imigran asal Kuba di Amerika Serikat tinggal di negara bagian Florida, tepatnya di kota Miami. Pada tanggal 25 November kemarin, mereka semua mengadakan pesta pora. Mereka bersuka cita merayakan meninggalnya Fidel Castro, mantan diktator Kuba yang telah memberangus kebebasan, merampas properti, hingga memenjarakan dan membunuh keluarga dan teman-teman yang mereka miliki
Semuanya berawal pada 8 Januari 1959, ketika Fidel Castro muda memasuki ibukota Kuba, Havana, dengan penuh kemenangan. Selama hampir 6 tahun ia bergerilya memimpin kelompok pemberontakan presiden Kuba pada masa itu, Fulgencio Batista. Paska meraih pucuk pimpinan di negeri karibia tersebut, Castro pun lantas mengangkat dirinya sebagai pemimpin dan segera merubah tatanan sosial, politik, dan ekonomi negaranya secara radikal.
Semua tanah dinasionalisasi dan diambil alih oleh pemerintah, termasuk properti yang dimiliki oleh berbagai instansi keagamaan. Sekolah-sekolah swasta ditutup dan dijadikan lembaga pendidikan negeri. Selain itu, untuk menjaga kekuasaannya, Castro juga mendirikan Komite Pembela Revolusi yang bertugas untuk memberangus segala kegiatan yang dicurigai menentang Revolusi Kuba. Singkatnya, Castro telah berhasil mendirikan negara komunis pertama di belahan dunia bagian barat yang tetap bertahan hingga detik ini.
Castro segera menjadi selebriti dunia dalam sekejap. Kelompok-kelompok kiri memujanya sebagai tokoh yang memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Kaum muda memujanya sebagai ikon anti kemapanan. Sikap Castro yang menentang dominasi Amerika Serikat dan negara-negara dunia pertama sontak membuatnya dikagumi oleh banyak pemimpin negara dunia ketiga, termasuk presiden pertama kita, Soekarno.
Setelah berkuasa selama hampir 50 tahun, Castro pun mundur dari jabatan presiden Kuba pada tahun 2006 dan menggantikan kekuasaannya kepada adiknya, Raul. Dibawah Raul, bayangan Fidel Castro pun tak kunjung redup. Kuba tetap menjadi negara dengan sistem ekonomi terpusat dan sistem politik satu partai. Fidel Castro pun menghembuskan nafas terakhirnya 6 tahun kemudian karena kondisi kesehatan yang kian memburuk.
Dunia serentak menyatakan duka cita atas pemimpin revolusi Kuba tersebut. Tidak hanya para penguasa otoriter yang mengungkapkan bela sungkawa, seperti Presiden Venezuela, Nicholas Maduro, namun juga para politisi negara-negara demokratis. Perdana menteri Kanada, Justin Trudeau misalnya, mengatakan bahwa Castro merupakan pemimpin yang luar biasa serta seseorang yang sangat mencintai dan berdedikasi terhadap masyarakat Kuba. Mantan kandidat presiden Amerika Serikat dari partai hijau (Green Party), Jill Stein juga berkata Casro merupakan simbol perjuangan terhadap keadilan.
Namun, benarkah demikian? Apakah Castro memang seorang pemimpin yang berjuang demi kemanusiaan dan keadilan? Benarkah ia merupakan tokoh pembela kebebasan dan kemerdekaan
Bila pertanyaan di atas diajukan kepada aktivis hak asasi manusia asal Kuba, Armando Valladares, jawabannya jelas tidak sama sekali. Pada tahun 1960, setahun setelah Castro merayakan kemenangan revolusinya, Valladares ditangkap oleh pemerintah Kuba, dan dijatuhi hukuman penjara selama 30 tahun tanpa proses peradilan, hanya karena ia menolak manaruh tanda “Saya Bersama Fidel” di atas meja kerjanya di Kementerian Komunikasi.
Di dalam penjara, semangat dan kegigihan Valladares melawan rezim Castro pun tak kunjung surut. Berbagai cara perlawanan ia lakukan, mulai dari melakukan protes menolak makan selama berhari-hari, hingga dengan menulis berbagai puisi menceritakan kisah hidupnya di hotel prodeo, yang berhasil diselundupkan ke dunia luar, yang mendapatkan perhatian dunia internasional. Setelah mendekam selama lebih dari 2 dekade di balik jeruji besi, pada tahun 1982, Valladares akhirnya dibebaskan oleh Pemerintah Kuba atas dorongan dari Presiden Prancis, Francois Mitterrand. Valladares pun segera meninggalkan Kuba untuk menetap di negeri Paman Sam.
Melalui otobiografinya, “Against All Hope”, Valladares mengungkapkan berbagai pengalaman hidupnya didalam penjara Castro. Setiap malam ia mendengarkan tembakan ekseskusi mati terhadap orang-orang yang dituduh Castro melawan revolusinya, sekali lagi, tanpa peradilan. Ia pun kerap disiksa, dipukuli secara sistematis setiap hari, dan bahkan dipaksa untuk meminum urin oleh sipir penjara, hanya karena ia memohon diberikan air untuk bertahan hidup.
Valladares tidak sendirian. Amnesty Internasional mencatat setidaknya ada lebih dari 8.600 orang yang dipenjara dengan motif politik di negara pulau berpenduduk 11 juta jiwa tersebut. Seperti Valladares, mereka semua dipenjara tanpa proses peradilan dan hanya karena mencoba bersikap kritis terhadap rezim Castro. Salah satunya adalah Ciro Alexis Casanova Perez yang dijebloskan ke penjara pada bulan Desember tahun 2014 hanya karena melakukan demonstrasi seorang diri menentang pemerintah di kota asalnya, Placetas.
Hal ini kian diperparah dengan absennya kebebasan pers untuk dinikmati jurnalis Kuba. Konstitusi Kuba sendiri secara tegas menyatakan bahwa seseorang hanya diizinkan melakukan kegiatan jurnalisme hanya apabila mereka bersedia untuk “menyesuaikan diri dengan tujuan dari masyarakat sosialis.” Freedom House dalam laporannya menyertakan bahwa pemerintah secara pernah menguasai seluruh media massa Kuba yang terdiri dari 3 koran nasional, 5 stasiun televisi, dan 6 stasiun radio, yang seluruh kontennya ditentukan oleh rezim Castro yang berkuasa.
Tidak heran kalau penangkapan dan penahanan wartawan di Kuba merupakan fenomena yang sehari-hari terjadi. Pada bulan Juli tahun 2012 misalnya, jurnalis Jose Antonio Torres dijatuhi hukuman 14 tahun penjara hanya karena menulis artikel yang mengkritik berbagai kesalahan manajemen Pemerintah Kuba. Diantaranya adalah proyek pembangunan pipa air di kota Santiago de Cuba yang tak kunjung juga selesai selama bertahun-tahun. Freedom House juga mencatat bahwa para jurnalis yang ditahan oleh Pemerintah Kuba kerap mendapatkan berbagai pelecehan dan kekerasan fisik, seperti pemukulan, hingga ancaman terhadap keluarga mereka.
Fidel Castro tidak perlu diragukan lagi merupakan salah satu diktator paling keji pada abad ke-20 hingga awal ke-abad 21. Meskipun ia telah tiada, namun warisan kekejamannya tidak akan pernah dilupakan. Kepemimpinannya telah menghilangkan ribuan nyawa tak bersalah, membawa jutaan rakyat di dalam kemiskinan, dan membelenggu kebebasan sipil dan politik warga Kuba selama lebih dari setengah abad.
Terbukti bahwa surga sosialisme yang dijanjikan oleh Castro dalam revolusi Kuba tak lebih dari propaganda belaka. Mengutip penulis besar Britania Raya, George Orwell, dalam novel mahsyurnya (1984), “seseorang tidak menjadi diktator untuk menjaga jalannya revolusi, melainkan seseorang melakukan revolusi untuk menjadi diktator

Sumber