Kamis, 26 Mei 2011

GELIAT FIDEL CASTRO

Kebanyakan anak-anak menjelang usia remaja, kerap menghabiskan hari-hari mereka dengan belajar, bermain dengan teman-teman, dan bersenang-senang bersama keluarga. Periode tersebut pada umumnya merupakan masa yang dipenuhi dengan kegembiraan, keceriaan dan suka cita. Namun tidak dengan Lizbet Martinez.
Di usianya yang ke-12, ia harus pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Bersama ayah, ibu, dan biola kesayangannya, Lizbet kecil berjuang mengarungi lautan dengan mengendarai rakit sederhana dari tempat tinggalnya di Kuba menuju tepian pantai Florida. Hanya 1 tujuan mereka melakukan perjalanan berbahaya tersebut, yakni demi meraih kebebasan dan kesempatan yang lebih baik. Setelah terombang-ambing di lautan selama 7 hari, pada 21 Agustus 1994, mereka akhirnya diselamatkan oleh penjaga pantai Amerika Serikat yang sedang melakukan patroli rutin.
Lizbet dan kedua orangtuanya belum bisa berbahasa Inggris ketika itu. Setelah diselamatkan, dengan menggunakan biolanya, gadis cilik tersebut segera memainkan lagu kebangsaan negeri Paman Sam, “The Star Spangled Banner”, sebagai tanda terima kasih kepada para penyelamatnya, yang ia pelajari dari sebuah buku yang diberikan oleh guru musiknya. Para penjaga pantai itupun langsung terharu dan meneteskan air mata.
Perjalanan hidup seorang Lizbet Martinez hanyalah sepenggal kisah dari cerita hidup jutaan imigran asal Kuba yang lari ke Amerika Serikat. Banyak dari mereka yang berhasil, namun tak sedikit pula yang mengakhiri hidup di tengah lautan. Dengan menggunakan berbagai sarana sederhana, seperi rakit yang terbuat dari kayu, mereka berjuang mempertaruhkan nyawa demi mendapat tempat tinggal yang baru. Mereka semua dipersatukan oleh keinginan untuk mendapatkan kebebasan, kemerdekaan dan kehidupan yang lebih baik.
Mayoritas imigran asal Kuba di Amerika Serikat tinggal di negara bagian Florida, tepatnya di kota Miami. Pada tanggal 25 November kemarin, mereka semua mengadakan pesta pora. Mereka bersuka cita merayakan meninggalnya Fidel Castro, mantan diktator Kuba yang telah memberangus kebebasan, merampas properti, hingga memenjarakan dan membunuh keluarga dan teman-teman yang mereka miliki
Semuanya berawal pada 8 Januari 1959, ketika Fidel Castro muda memasuki ibukota Kuba, Havana, dengan penuh kemenangan. Selama hampir 6 tahun ia bergerilya memimpin kelompok pemberontakan presiden Kuba pada masa itu, Fulgencio Batista. Paska meraih pucuk pimpinan di negeri karibia tersebut, Castro pun lantas mengangkat dirinya sebagai pemimpin dan segera merubah tatanan sosial, politik, dan ekonomi negaranya secara radikal.
Semua tanah dinasionalisasi dan diambil alih oleh pemerintah, termasuk properti yang dimiliki oleh berbagai instansi keagamaan. Sekolah-sekolah swasta ditutup dan dijadikan lembaga pendidikan negeri. Selain itu, untuk menjaga kekuasaannya, Castro juga mendirikan Komite Pembela Revolusi yang bertugas untuk memberangus segala kegiatan yang dicurigai menentang Revolusi Kuba. Singkatnya, Castro telah berhasil mendirikan negara komunis pertama di belahan dunia bagian barat yang tetap bertahan hingga detik ini.
Castro segera menjadi selebriti dunia dalam sekejap. Kelompok-kelompok kiri memujanya sebagai tokoh yang memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Kaum muda memujanya sebagai ikon anti kemapanan. Sikap Castro yang menentang dominasi Amerika Serikat dan negara-negara dunia pertama sontak membuatnya dikagumi oleh banyak pemimpin negara dunia ketiga, termasuk presiden pertama kita, Soekarno.
Setelah berkuasa selama hampir 50 tahun, Castro pun mundur dari jabatan presiden Kuba pada tahun 2006 dan menggantikan kekuasaannya kepada adiknya, Raul. Dibawah Raul, bayangan Fidel Castro pun tak kunjung redup. Kuba tetap menjadi negara dengan sistem ekonomi terpusat dan sistem politik satu partai. Fidel Castro pun menghembuskan nafas terakhirnya 6 tahun kemudian karena kondisi kesehatan yang kian memburuk.
Dunia serentak menyatakan duka cita atas pemimpin revolusi Kuba tersebut. Tidak hanya para penguasa otoriter yang mengungkapkan bela sungkawa, seperti Presiden Venezuela, Nicholas Maduro, namun juga para politisi negara-negara demokratis. Perdana menteri Kanada, Justin Trudeau misalnya, mengatakan bahwa Castro merupakan pemimpin yang luar biasa serta seseorang yang sangat mencintai dan berdedikasi terhadap masyarakat Kuba. Mantan kandidat presiden Amerika Serikat dari partai hijau (Green Party), Jill Stein juga berkata Casro merupakan simbol perjuangan terhadap keadilan.
Namun, benarkah demikian? Apakah Castro memang seorang pemimpin yang berjuang demi kemanusiaan dan keadilan? Benarkah ia merupakan tokoh pembela kebebasan dan kemerdekaan
Bila pertanyaan di atas diajukan kepada aktivis hak asasi manusia asal Kuba, Armando Valladares, jawabannya jelas tidak sama sekali. Pada tahun 1960, setahun setelah Castro merayakan kemenangan revolusinya, Valladares ditangkap oleh pemerintah Kuba, dan dijatuhi hukuman penjara selama 30 tahun tanpa proses peradilan, hanya karena ia menolak manaruh tanda “Saya Bersama Fidel” di atas meja kerjanya di Kementerian Komunikasi.
Di dalam penjara, semangat dan kegigihan Valladares melawan rezim Castro pun tak kunjung surut. Berbagai cara perlawanan ia lakukan, mulai dari melakukan protes menolak makan selama berhari-hari, hingga dengan menulis berbagai puisi menceritakan kisah hidupnya di hotel prodeo, yang berhasil diselundupkan ke dunia luar, yang mendapatkan perhatian dunia internasional. Setelah mendekam selama lebih dari 2 dekade di balik jeruji besi, pada tahun 1982, Valladares akhirnya dibebaskan oleh Pemerintah Kuba atas dorongan dari Presiden Prancis, Francois Mitterrand. Valladares pun segera meninggalkan Kuba untuk menetap di negeri Paman Sam.
Melalui otobiografinya, “Against All Hope”, Valladares mengungkapkan berbagai pengalaman hidupnya didalam penjara Castro. Setiap malam ia mendengarkan tembakan ekseskusi mati terhadap orang-orang yang dituduh Castro melawan revolusinya, sekali lagi, tanpa peradilan. Ia pun kerap disiksa, dipukuli secara sistematis setiap hari, dan bahkan dipaksa untuk meminum urin oleh sipir penjara, hanya karena ia memohon diberikan air untuk bertahan hidup.
Valladares tidak sendirian. Amnesty Internasional mencatat setidaknya ada lebih dari 8.600 orang yang dipenjara dengan motif politik di negara pulau berpenduduk 11 juta jiwa tersebut. Seperti Valladares, mereka semua dipenjara tanpa proses peradilan dan hanya karena mencoba bersikap kritis terhadap rezim Castro. Salah satunya adalah Ciro Alexis Casanova Perez yang dijebloskan ke penjara pada bulan Desember tahun 2014 hanya karena melakukan demonstrasi seorang diri menentang pemerintah di kota asalnya, Placetas.
Hal ini kian diperparah dengan absennya kebebasan pers untuk dinikmati jurnalis Kuba. Konstitusi Kuba sendiri secara tegas menyatakan bahwa seseorang hanya diizinkan melakukan kegiatan jurnalisme hanya apabila mereka bersedia untuk “menyesuaikan diri dengan tujuan dari masyarakat sosialis.” Freedom House dalam laporannya menyertakan bahwa pemerintah secara pernah menguasai seluruh media massa Kuba yang terdiri dari 3 koran nasional, 5 stasiun televisi, dan 6 stasiun radio, yang seluruh kontennya ditentukan oleh rezim Castro yang berkuasa.
Tidak heran kalau penangkapan dan penahanan wartawan di Kuba merupakan fenomena yang sehari-hari terjadi. Pada bulan Juli tahun 2012 misalnya, jurnalis Jose Antonio Torres dijatuhi hukuman 14 tahun penjara hanya karena menulis artikel yang mengkritik berbagai kesalahan manajemen Pemerintah Kuba. Diantaranya adalah proyek pembangunan pipa air di kota Santiago de Cuba yang tak kunjung juga selesai selama bertahun-tahun. Freedom House juga mencatat bahwa para jurnalis yang ditahan oleh Pemerintah Kuba kerap mendapatkan berbagai pelecehan dan kekerasan fisik, seperti pemukulan, hingga ancaman terhadap keluarga mereka.
Fidel Castro tidak perlu diragukan lagi merupakan salah satu diktator paling keji pada abad ke-20 hingga awal ke-abad 21. Meskipun ia telah tiada, namun warisan kekejamannya tidak akan pernah dilupakan. Kepemimpinannya telah menghilangkan ribuan nyawa tak bersalah, membawa jutaan rakyat di dalam kemiskinan, dan membelenggu kebebasan sipil dan politik warga Kuba selama lebih dari setengah abad.
Terbukti bahwa surga sosialisme yang dijanjikan oleh Castro dalam revolusi Kuba tak lebih dari propaganda belaka. Mengutip penulis besar Britania Raya, George Orwell, dalam novel mahsyurnya (1984), “seseorang tidak menjadi diktator untuk menjaga jalannya revolusi, melainkan seseorang melakukan revolusi untuk menjadi diktator

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar